Bisnishotel, BANDUNG – Perubahan iklim telah menjadi isu hangat diperbincangkan dunia, termasuk Indonesia. Imbas perubahan iklim dianggap bukan hanya memerlukan langkah pencegahan atau mitigasi namun juga penyesuaian atau adaptasi sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Climate Change Center Institut Teknologi Bandung (CCC ITB), terdapat peluang besar dilakukannya penggabungan upaya mitigasi dan adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Sinergi ini diwujudkan dengan penentuan lokasi dan sistem yang sama, sehingga efek kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan perubahan lebih besar.
Di Indonesia, sinergi ini belum secara eksplisit dinyatakan dalam instrumen regulasi, namun dalam prakteknya sudah dapat terlihat meski belum banyak.
Jika dilihat dari peluang yang tersedia, upaya kolaboratif isu adaptasi dan mitigasi khususnya dalam perubahan iklim sudah ada sejak lama namun belum mendapatkan perhatian yang memadai dari para pemegang kebijakan.
“Kebutuhan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ini belum seimbang dengan alokasi pendanaan yang ada. Pendanaan dalam isu ini di Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan tingkat global,” ungkap tim SNAPFI CCC ITB, Dadang Hilman dalam webinar Climate Change Center ITB International 2022, Jumat (21/10/2022).
Untuk menyetarakan alokasi pendanaan proyek adaptasi, mitigasi maupun cross-cutting yang memadukan keduanya perlu didorong dengan adanya kebijakan eksplisit dari semua komponen serta aktor terkait.
Dadangpun menyarankan agar upaya sinergi dapat diterapkan di sektor energi berbasis lahan, termasuk mempertimbangkan adaptasi resiko perubahan iklim melalui proyek berbasis lahan (land-use).
Manajer pengelolaan perubahan Iklim PT PLN, Kamia Handayani menyetujui perlu adanya perhatian seimbang karena perubahan iklim tidak hanya sekedar isu mitigasi namun juga adaptasi.
Kamia menjelaskan dalam konteks sektor energi, khususnya pemodelan sistem ketenagalistrikan, sangat rentan terhadap perubahan iklim, sehingga memerlukan pertimbangan aspek ketahanan atas dampak perubahan iklim.
“Dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap supply chain, seperti hujan deras, angin kencang, ombak laut tinggi, gelombang panas, kekeringan, kilat dan petir, udara hangat, air yang menghangat, dan tinggi muka air laut, dan ini sangat berpengaruh pada arus distribusi listrik,” jelas Kamia.
Berdasarkan data dari PLN, Indonesia adalah negara yang memiliki pertumbuhan penggunaan listrik berada di level 1,3 megawatt (MW)/jam/kapita/tahun. Level ini masih cukup jauh dibanding negara-negara maju yang telah mencapai 3MW/jam/kapita/tahun.
Dari data tersebut terlihat jika pemerataan listrik di Indonesia belum sepenuhnya terealisasikan untuk semua wilayah di Indonesia.
Di sisi lain, komposisi sumber pasokan energi di Indonesia hingga 2050 terdiri dari 60-70% batu bara, 20% gas, dan sisanya dari energi terbarukan.
Kasus ini, jika hanya didorong melalui langkah mitigasi, maka sumber pasokan pada 2050 hanya tersisa 47% dari batubara, 20% dari gas bumi, dan 33% dari renewable energy.
“Dengan adanya sinergi mitigasi-adaptasi akan mengurangi terkurasnya sumber energi, karena adanya efisiensi natural gas dengan pemilihan alternatif pembangkit energi lain yakni angin dan matahari,” ujar Kamia.
PLN telah mengikuti arahan prioritas dari Kementerian LHK dan sudah ada regulasi internal yang mencakup tentang bagaimana PLN melakukan kajian kerentanan dan memasukkan aspek perubahan iklim ke perencanaan kerja perusahaan.